Guru yang Baik?

Kata Yohanes Surya: “Guru yang baik adalah guru yang mampu memberikan motivasi dan inspirasi kepada siswa, punya kemampuan dan pengetahuan yang cukup tentang apa yang diajarkannya, serta punya passion (keinginan yang besar –pen.) dan hati yang melayani. Metode yang tepat adalah suatu langkah demi langkah dalam pembelajaran yang mudah dimengerti sehingga setiap anak mampu mengerti apa yang diajarkan. Pembelajaran mengasyikkan yang membuat setiap anak termotivasi untuk belajar dan menyenangkan yang membuat anak tidak bosan. ‘Saya singkat dengan nama GASING, GAmpang, aSyIk dan menyenaNGkan.’”

Dikutip dari: Fernan Rahadi, “Tak Ada Anak yang Bodoh,” Republika, Kamis 16 Agustus 2012, hlm. 10.

Ushul Fiqh “Gaul”

(١) حَمْلُ المُُقَيَّدِ عَلَى المُطْلَقِ، (٢) العِبرَةُ بِعُمُومِ المَقَاصِدِ لاَ بِخُصُوصِ النَّصِّ، (٣) المَصْلَحَةُ دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ مُستَقِلٌّ عَنِ النُّصُوصِ، (٤) استِقلاَلُ العُقُولِ بِإِدرَاكِ المَصَالِحِ وَالمَفَاسِدِ دُونَ التَعَلُّقِ بِالنُصُوصِ، (٥) المَصْلَحَةُ أَقْوَى دَلِيْلِِ الشَّرْعِيِّ، (٦) مَجَالُ العَمَلِ بالمَصْلَحَةِ هُوَ المُعَامَلَةُ وَالعَادَةُ دُونَ العِباَدَاتِ، (٧) الثَابِتُ بِالعُرفِ كَالثَابِتِ بِالنَّصِّ، (٨) تَصَرَّفُ الإِمَامِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَةِ، (٩) حُكْمُ الوَسَائِلِ بِمَقَاصِدِهَا، (١٠) المُحَافَظَةُ عَلَى القَدِيمِ الصَّالِحِ وَالأَخذُ بِالجَدِيدِ الأَصلَحِ، (١١) القَولُ بِتَرجِيحِ النَقلِ عَلَى العَقلِ مُحَالٌ.

(1) Membawa yang terikat pada yang mutlak, (2) Mempertimbangkan keumuman tujuan Syari’at, bukan teks-nya yang spesifik, (3) Kepentingan masyarakat adalah petunjuk Syar’i yang tidak bergantung pada konfirmasi teks, (4) Kebebasan rasionalitas untuk menentukan baik dan buruk tanpa bergantung pada teks, (5) Kepentingan masyarakat adalah petunjuk Syari’ah yang paling kuat, (6) Wilayah regulasi kepentingan masyarakat adalah yang terkait dengan hubungan antara sesama dan tradisi, bukan ibadah, (7) Regulasi berbasis tradisi setara dengan regulasi berbasis teks, (8) Kebijakan pemimpin harus sesuai dengan kepentingan masyarakat, (9) Instrumen atau sarana hukum disesuaikan dengan tujuannya (10) Mempertahankan tradisi lama dan atau menerima gagasan baru yang lebih relevan, (11) Pendapat yang menyatakan teks lebih unggul dari rasionalitas adalah mustahil.

Dikutip dan dimodifikasi dari: Imam Ghazali Said, “Catatan Penyunting: Dokumentasi dan Dinamika Pemikiran Ulama Bermadzhab,” dalam Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999) (Surabaya: Lajnah Ta’lif wan Nasyr [LTN] NU Jatim, 2005), hlm. xlix-l.

Meaningful Sense

The task of interpretation always poses itself when the meaning content of the printed work is disputable and it is the matter of attaining the correct understanding ‘of information’. However, this ‘information’ is not what the speaker or writer originally said, but he wanted to say to me if I have been his original interlocutor. It is something of a command for interpretation that the text must be followed, according to its meaningful sense (Sinnsgemäß) (and not literally). Accordingly we must say the text is not a given object, but a phase in the execution of the communicative event.

Tugas penafsiran itu selalu mengemuka ketika kandungan makna karya tulis itu diperdebatkan dan hal itu terkait dengan pencapaian pemahaman yang benar terhadap ‘informasi’. Namun, ‘informasi’ ini bukan apa yang secara orisinal diucapkan [dimaksud] oleh pembicara atau penulis, tetapi lebih dari itu, apa yang betul-betul ingin dikatakannya, yakni apa yang ingin dikatakannya kepadaku andaikata aku ini interlokutor orisinalnya. Informasi/makna yang dimaksud ini adalah suatu perintah penafsiran, sehingga teks harus diikuti menurut makna terdalam (meaningful sense/ Sinnesgemäß) [bukan apa yang dimaksud secara literal]. Atas dasar ini, kita harus mengatakan bahwa teks itu bukan obyek yang sebenarnya, tetapi merupakan fase dalam mengeksekusi peristiwa komunikatif.

Hans-Georg Gadamer, “Text and Interpretation,” in Brice R. Wachterhauser (ed.), Hermeneutics and Modern Philosophy (Albany: New York University Press, 1986), hlm. 393-396.

Sadar Pengaruh Sejarah

Wirkungsgeschichtliches Bewußtsein ist zunächst Bewußtsein der hermeneutischen Situation. Die Gewinnung des Bewußtseins einer Situation ist aber in jedem Falle eine Aufgabe von einer Schwierigkeit. (…) Die Situation stellt einen Standort dar, der die Sichtmöglichkeit beschränkt, in Form eines horizontes. (…) Eine Überlieferung verstehen, verlangt also gewiss historischen Horizont. Aber es kann sich nicht darum handeln, dass man diesen Horizont gewinnt, indem man sich in eine historische Situation versetzt. Mann muss vielmehr immer schon Horizont haben, um sich dergestalt in eine Situation versetzen zu könen.

Consciousness of being affected by history is primarily consciousness of the hermeneutical situation. To acquire an awareness of a situation is, however, always a task of peculiar difficulty. (…) We define the concept of “situation” by saying  that it represent a standpoint that limits the possibility of vision. Hence essential to the concept of situation is the concept of “horizon”. (…) Understanding tradition undoubtedly requires a historical horizon, then. But it is not the case that we acquire this horizon by transposing ourselves into a historical situation. Rather, we must always already have a horizon in order to be able to transpose ourselves into a situation.

Kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah utamanya adalah kesadaran terhadap situasi hermeneutik. Namun, untuk mendapatkan suatu kesadaran terhadap suatu situasi, bagaimanapun, merupakan suatu tugas khusus yang sulit. (…) Kita merumuskan konsep tentang “situasi” dengan mengatakan bahwa ia merepresentsikan sebuah sudut pandang yang membatasi kemungkinan sebuah visi. Karena itu bagian esensial dari konsep situasi adalah konsep tentang horizon. (…) Kemudian memahami sebuah teks masa lalu tidak diragukan membutuhkan suatu horizon historis. Tetapi bukan berarti bahwa kita menemukan horizon ini dengan menempatkan diri dalam suatu situasi historis. Lebih dari itu, kita harus memiliki horizon agar mampu untuk menempatkan diri kita dalam suatu situasi.

Dikutip dari: Hans-Georg Gadamer, Wahrheit und Methode; Grundzüge einer philosophischen Hermeneutik (Tubingen: J.C.B. Mohr, 1990), hlm. 307-310, Truth and Method; Elements of a Philosophical Hermeneutics trans. Joel Weinsheimer & Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), hlm. 301-304 & Kebenaran dan Metode; Pengantar Filsafat Hermeneutika terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 363-367.

Lebaran

Lebaran adalah ketupat dan permintaan maaf. Ada unsur perut, tentu, tapi sekaligus juga unsur yang tidak hanya perut. Dan tentu saja tidak hanya perutku sendiri.

Permintaan maaf adalah sebuah isyarat yang mengakui: saya salah. Saya salah dalam bersikap terhadap dan tentang orang lain, tentang keadaan di luar diri saya, tentang dunia yang tak termasuk kesadaran saya. Permintaan maaf adalah sebuah pengakuan bahwa orang selalu hidup dengan tafsir, dalam tafsir dan karena tafsir. Tak ada kenyataan yang tak terkena tafsir. Tak ada fakta yang tak terpoles, tak diwarnai, sikap seseorang dan masyarakatnya dalam membaca kenyataan atau fakta itu.

Dan tidak tiap tafsir dapat dikomunikasikan dengan sempurna ke orang lain, karena orang lain itu juga punya polesannya sendiri.

Itu sebabnya, pemahaman penuh dan kesepakatan adalah sebuah utopia. Kesadaran tentang ini tak serta merta akan berakhir dengan putus asa. Ia bahkan sesuatu yang mendorong kita untuk berusaha-meskipun (atau justru karena) tiap kali tak sepenuhnya tercapai. Permintaan maaf berarti saya telah salah paham, dan saya tak ingin terus-menerus salah paham.

Kita adalah subyek yang terbelah karena kita masing-masing terpaut pada ketupat-sebuah kondisi yang tak perlu dan tak sepatutnya dikutuk. Mau tak mau, dengan seluruh kecerdasan kita, kita selamanya ada dalam sesuatu yang-“somatis”, yang-jasmani, yang kadang-kadang merasakan lapar-dan-dahaga dan memandang dunia dengan kondisi itu.

Itu sebabnya, tiap hari lebaran, atau lebih persis lagi selama puasa, saya meragukan Hegel. Ia menganggap bahwa pada dasar dunia yang jasmani ada “roh” (Geist) yang menjadikan dunia sebuah realitas yang secara esensial bersifat rohani. Tapi kenyataan bahwa selama 30 hari itu saya sibuk dengan tubuh saya-agar tidak dilanda nafsu, agar merasakan lapar, agar menahan gejolak hati-itu menunjukkan bahwa yang “somatis” demikian penting. Ia tak terpisah dari rohani. Bahkan bisa dikatakan, roh bukanlah sesuatu yang sepenuhnya membentuk subyek yang bisa mengatasi tubuh dan melintasi batas dunia-“subyek yang transendental”. Roh justru dibentuk dalam sejarah, bukan di luar sejarah.

Kerinduan kepada Tuhan, kecintaan kita kepada yang indah, yang adil, dan yang benar, jalin-menjalin dengan apa yang tak putus-putusnya merundung manusia: kekurangannya.

Kaum Buddhis menyebutnya dengan sansara. Kata yang dalam bahasa Indonesia berkembang menjadi pengertian yang ekuivalen dengan “penderitaan” (“ke-sengsara-an”) ini sebermula berarti “perjalanan” atau “keadaan yang mengalir” yang tak henti-henti. Perjalanan ini adalah siklus yang terbentuk dari kelahiran, lalu menua-melapuk, dan kemudian mati. Proses itu, perjalanan sejarah itu, bagi Buddhisme bukanlah sebuah cerita sukacita. Justru air mata tumpah dari saat ke saat. Begitu pedih dan begitu hakiki, hingga air mata yang terurai dalam transmigrasi kehidupan itu diibaratkan lebih dahsyat ketimbang empat buah samudra.

Transmigrasi yang penuh air mata itu menunjukkan bahwa manusia bukanlah roh. Atau dikatakan secara lain, yang disebut “roh” dalam riwayat manusia (seperti yang dilihat Hegel) sebenarnya adalah sebuah proses dalam ruang-dan-waktu. Selama itu, beragam manusia berinteraksi, saling memberi dampak, konstruktif ataupun destruktif. Yang menggerakkannya adalah hasrat, atau impuls, yang lahir karena kekurangan dan ingin mengatasi kekurangan, ingin lepas dari sansara.

Kita tahu, kekurangan senantiasa terpaut dengan badan, karena badan senantiasa terbatas. Memang ada saat-saat ketika ruang-dan-waktu itu bisa di atasi, dan itulah saat dari “yang-rohani”. Tapi, seperti dalam kritik Adorno terhadap Hegel: semua yang-rohani sebenarnya hanya “impuls jasmani yang berubah”,

Modifiziert leibhafter Impuls.

Tentu akan keliru apabila kita kemudian hanya memandang yang jasmani, yang merindukan ketupat, sebagai gambaran satu-satunya tentang manusia. Tapi kiranya bisa dijadikan semacam awal kearifan untuk melihat lapar-dan-dahaga sebagai metafor yang menegaskan bahwa tubuh kita sebenarnya membimbing kita. Seperti telah tersirat di atas, kekurangan, atau dengan kata lain lapar-dan-dahaga, menggerakkan kita untuk membuat sejarah, namun pada saat yang sama membuat kita tak sepenuhnya tahu ke mana persis arahnya. Kita ibarat berada dalam arus laut, yang bergerak terus, dan tak pernah ada dermaga dari mana kita bisa meninjau hamparan gelombang itu. Kita selamanya terapung. Dan kita terapung di sana “lebih ringan ketimbang gabus penyumbat botol”, kata Hegel.

Tapi Hegel seorang optimis. Di laut itu, dengan bobot yang terbatas sekalipun, katanya, pada saatnya akan ada ujung samudra, akan ada tepian yang tenang: “akhir sejarah”. Sebab kapal kita kuat, jika kita juga memperkuat diri. Digambarkan secara lain, setelah puasa panjang, di mana roh kita menegaskan diri di dalam kita, akan ada Lebaran yang akan merayakan pencapaian manusia.

Tapi bagi saya, mungkin lebih baik ada Lebaran yang akan meluangkan maaf sesama manusia. Sebab sebenarnya tak ada perbedaan prinsipiil antara puasa dan ujungnya: dalam sansara yang panjang, tak hanya air mata yang tumpah, tapi juga kegembiraan ala Lebaran, betapapun bersahajanya. Sementara itu, setelah berabad-abad menghuni planet ini, manusia menyadari bahwa riwayatnya dibangun dari harapan besar untuk bisa melepas lapar-dan-dahaga, tapi juga dibentuk oleh pelbagai salah sikap dan salah sangka.

Maka, meskipun Lebaran masih beberapa hari lagi, maafkan lahir batin.

Dikutip dari: Goenawan Mohamad, “Lebaran”, dalam Catatan Pinggir TEMPO, Edisi 13-19 Agustus 2012, hlm. 146.